Jakarta - Quantitative Easing (QE) The Fed dinilai hanya ajang pertaruhan belaka. Meledaknya gelembung harga aset pun diperkirakan akan memperparah pemulihan ekonomi, bahkan mengarah pada depresi besar.
Richard Koo, ekonom Nomura mengecam pertaruhan QE jilid 2 dan Gubernur The Fed Ben Bernanke, selain memperingatkan efek parah pada pemulihan jika gelembung harga aset meledak. “QE2 tidak berdampak positif terhadap jumlah uang beredar. Selain tidak ada keterkaitannya, juga tidak ada dana tunai,” katanya.
Menurutnya, ketika The Fed membeli aset tertentu, dalam hal ini Treasury efek jangka panjang, harga aset naik. Hal ini kemudian mendorong investor swasta mengarahkan kembali dana mereka ke aktiva lain, yang memimpin kenaikan terkait harga aset tersebut. “Ini berarti, tujuan investasi yang masih bertahan untuk dana-dana tersebut adalah ekuitas, komoditas, dan real estat,”ujarnya.
Namun, real estat baru saja melalui gelembung dan menunjukkan ketidakpastian. Dalam real estat komersial, misalnya, bank, atas permintaan pemerintah AS, sedang terlibat dalam kebijakan ‘berpura-pura dan memperpanjang’ dengan menawarkan pinjaman kepada debitur yang utangnya tidak akan di-roll over dalam keadaan biasa.
Itu berarti bahwa harga saat ini tidak secara akurat mencerminkan harga pasar sebenarnya. Sudah terlihat dari harga rumah yang kembali jatuh akhir 2010. Harga rumah Inggris pun telah turun sejak pertengahan 2010, dan Halifax House Price Index turun 1,4% pada April 2011, dengan penurunan tahunan YoY mencapai 3,7%. “Akhirnya, pilihan yang tersisa untuk investor swasta hanya saham dan komoditas. Itu mengapa kedua investasi ini meningkat sejak pengumuman QE2,” katanya.
Pecahnya gelembung harga aset pun diyakini akan memperparah pemulihan ekonomi, bahkan mengarah pada depresi besar. Koo mencermati potensi paralel besar yang berkembang antara ekonomi negara saat ini, Jepang, dan Amerika Serikat selama Depresi Besar pertama.
Ia bercermin pada kasus pemerintah Jepang 1997 silam, yang mengabaikan ketergantungan ekonomi terhadap belanja pemerintah. Para pejabat pemerintah dan ekonom ketika itu memutuskan Jepang telah siap untuk konsolidasi fiskal pada 1997 karena pada 1996, tahun sebelum kebijakan itu diterapkan, Jepang mencatat pertumbuhan PDB sebesar 4,4%, tertinggi di antara negara G7.
Padahal, pada kenyataannya, sebagian besar pertumbuhan 4,4% tersebut, ditopang pemerintah dalam bentuk stimulus fiskal senilai 5% dari PDB. Akibatnya, setelah dukungan dihapus pada 1997, ekonomi Jepang pun terjun bebas dan mengalami pertumbuhan negatif lima kuartal berturut-turut.
Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan ekonomi AS dan Inggris, serta uang beredar saat ini yang mendapat dukungan stimulus fiskal sebesar 9-10% dari PDB. Angka yang jauh lebih besar dari stimulus Jepang pada 1997. Ini berarti, dampak deflasi bisa parah jika faktor pendukung ini dihapus.
“Paling tidak, penurunan berlanjut di sektor kredit swasta adalah bukti bahwa ekonomi kedua negara ini tidak didukung pertumbuhan kredit di sektor swasta,”imbuh Koo.
Presiden Franklin D. Roosevelt sempat melakukan kesalahan ini pada 1937. Pola ekspansi dalam peredaran uang dan ekonomi, meskipun tidak ada pertumbuhan kredit sektor swasta, juga diamati pada 1933-1936, karena ekonomi AS bangkit dari Depresi Besar.
Roosevelt menyadari pentingnya hubungan ini dan percaya bahwa ekonomi sudah pada pertumbuhan yang mandiri, memulai jalan konsolidasi fiskal pada 1937.
Tak pelak, ekonomi AS pun jatuh ke dalam resesi parah yang ditandai dengan anjloknya produksi dan pengangguran secara drastis melesat. Negara adidaya ini pun membutuhkan serangan Jepang atas Pearl Harbor agar ekonomi AS dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan. Akankah hal seperti ini akan terulang lagi? [mdr]
www.inilah.com
Richard Koo, ekonom Nomura mengecam pertaruhan QE jilid 2 dan Gubernur The Fed Ben Bernanke, selain memperingatkan efek parah pada pemulihan jika gelembung harga aset meledak. “QE2 tidak berdampak positif terhadap jumlah uang beredar. Selain tidak ada keterkaitannya, juga tidak ada dana tunai,” katanya.
Menurutnya, ketika The Fed membeli aset tertentu, dalam hal ini Treasury efek jangka panjang, harga aset naik. Hal ini kemudian mendorong investor swasta mengarahkan kembali dana mereka ke aktiva lain, yang memimpin kenaikan terkait harga aset tersebut. “Ini berarti, tujuan investasi yang masih bertahan untuk dana-dana tersebut adalah ekuitas, komoditas, dan real estat,”ujarnya.
Namun, real estat baru saja melalui gelembung dan menunjukkan ketidakpastian. Dalam real estat komersial, misalnya, bank, atas permintaan pemerintah AS, sedang terlibat dalam kebijakan ‘berpura-pura dan memperpanjang’ dengan menawarkan pinjaman kepada debitur yang utangnya tidak akan di-roll over dalam keadaan biasa.
Itu berarti bahwa harga saat ini tidak secara akurat mencerminkan harga pasar sebenarnya. Sudah terlihat dari harga rumah yang kembali jatuh akhir 2010. Harga rumah Inggris pun telah turun sejak pertengahan 2010, dan Halifax House Price Index turun 1,4% pada April 2011, dengan penurunan tahunan YoY mencapai 3,7%. “Akhirnya, pilihan yang tersisa untuk investor swasta hanya saham dan komoditas. Itu mengapa kedua investasi ini meningkat sejak pengumuman QE2,” katanya.
Pecahnya gelembung harga aset pun diyakini akan memperparah pemulihan ekonomi, bahkan mengarah pada depresi besar. Koo mencermati potensi paralel besar yang berkembang antara ekonomi negara saat ini, Jepang, dan Amerika Serikat selama Depresi Besar pertama.
Ia bercermin pada kasus pemerintah Jepang 1997 silam, yang mengabaikan ketergantungan ekonomi terhadap belanja pemerintah. Para pejabat pemerintah dan ekonom ketika itu memutuskan Jepang telah siap untuk konsolidasi fiskal pada 1997 karena pada 1996, tahun sebelum kebijakan itu diterapkan, Jepang mencatat pertumbuhan PDB sebesar 4,4%, tertinggi di antara negara G7.
Padahal, pada kenyataannya, sebagian besar pertumbuhan 4,4% tersebut, ditopang pemerintah dalam bentuk stimulus fiskal senilai 5% dari PDB. Akibatnya, setelah dukungan dihapus pada 1997, ekonomi Jepang pun terjun bebas dan mengalami pertumbuhan negatif lima kuartal berturut-turut.
Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan ekonomi AS dan Inggris, serta uang beredar saat ini yang mendapat dukungan stimulus fiskal sebesar 9-10% dari PDB. Angka yang jauh lebih besar dari stimulus Jepang pada 1997. Ini berarti, dampak deflasi bisa parah jika faktor pendukung ini dihapus.
“Paling tidak, penurunan berlanjut di sektor kredit swasta adalah bukti bahwa ekonomi kedua negara ini tidak didukung pertumbuhan kredit di sektor swasta,”imbuh Koo.
Presiden Franklin D. Roosevelt sempat melakukan kesalahan ini pada 1937. Pola ekspansi dalam peredaran uang dan ekonomi, meskipun tidak ada pertumbuhan kredit sektor swasta, juga diamati pada 1933-1936, karena ekonomi AS bangkit dari Depresi Besar.
Roosevelt menyadari pentingnya hubungan ini dan percaya bahwa ekonomi sudah pada pertumbuhan yang mandiri, memulai jalan konsolidasi fiskal pada 1937.
Tak pelak, ekonomi AS pun jatuh ke dalam resesi parah yang ditandai dengan anjloknya produksi dan pengangguran secara drastis melesat. Negara adidaya ini pun membutuhkan serangan Jepang atas Pearl Harbor agar ekonomi AS dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan. Akankah hal seperti ini akan terulang lagi? [mdr]
www.inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar